Keris Klungkung
Dari narasi penjarahan hingga ke industri pariwisata modern di Bali, proyek ini merunut narasi yang terabaikan seputar keris Klungkung sejak dari muasalnya hingga ke dampak poskolonial yang relevan pada Bali hari ini. Film ini menyandingkan pengetahuan yang dicatat oleh arsip kolonial dengan pengetahuan dan mitos yang berkembang di komunitas, untuk mendedah pemahaman akan narasi yang lestari, mati, dan juga hilang.
Tentang artefak
Keris Klungkung dijarah dari Kerajaan Klungkung di Bali oleh tentara kerajaan Belanda pada April 1908. Peristiwa ini terjadi pasca tragedi puputan, atau yang disebut juga sebagai “penghabisan” atau “akhir” dalam bahasa Bali. Peristiwa ini menandai perlawanan masyarakat Bali atas Kerajaan Belanda yang mencoba memonopoli perdagangan opium di pulau tersebut. Perlawanan ini berujung pada puputan di istana Klungkung. Tidak ada catatan yang merinci angka pasti jatuhnya korban jiwa pada masyarakat Bali. Selain menjadi korban letusan peluru dan mesiu Belanda, sebagian lainnya memilih melakukan serangan bunuh diri dengan kerisnya daripada harus menyerah kepada pasukan Belanda.
Perjalanan keris Klungkung tercatat dengan rapi dari perspektif museologi barat. Darimana dan kapan keris tersebut dirampas, serta kondisi dan kepemilikan keris ini diketahui dengan jelas. Namun pembacaan kritis atas laporan provenance bisa melampaui apa yang sekadar tercatat.
Pasca puputan 1908, pemerintah kolonial Belanda memiliki kendali penuh atas Bali dan mempromosikan pariwisata di pulau ini. Inisiatif ini merupakan sebagian dari upaya pemerintah kolonial untuk mengkompensasi peristiwa berdarah yang mengawalinya dan disebut sebagai kebijakan “Baliseering”. Pemerintah kolonial berupaya menjadikan Bali sebagai museum sejarah. Namun upaya ini mengikat Bali dengan kapitalisme melalui “rasionalisasi” dan kegiatan yang berorientasi keuntungan. Bali yang kita lihat saat ini sangat bergantung pada industri pariwisata dan mitos buatan kolonial yang mencitrakannya sebagai ahistoris dan apolitis. Membicarakan konflik cenderung dihindari karena akan berpengaruh pada pencaharian masyarakatnya.
Tradisi dan seni pembuatan keris nyaris pudar di kawasan Klungkung seiring dengan pelarangan produksinya sebagai senjata oleh pemerintah kolonial Belanda. Puputan 1908 merupakan peristiwa yang terus dikenang di masyarakat Bali lewat upacara yang digelar secara tahunan.
Seniman
Kifu Taufiqurrahman
Taufiqurrahman Kifu (Indonesia, 1994) menggunakan seni sebagai ruang uji coba dan artikulasi gagasan. Kifu sangat fleksibel dalam memilih media. Baginya masing-masing medium memiliki bahasa yang potensialnya sendiri. Pada tahun 2021, Kifu menginisiasi MUTUALS, sebuah grup yang berfokus pada kajian dan metodologi penciptaan karya dalam konteks kebudayaan media kontemporer dan berakar pada konteks lokal. Ia telah mengkurasi sejumlah pameran seni dan terlibat sebagai programmer pada Arkipel: Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2025. Saat ini Kifu aktif sebagai Artistic Director of the Festival Film Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.
Hattie Wade
Hattie Wade (Inggris, 1993) adalah seorang seniman berbasis riset. Praktik seninya berakar pada minatnya terhadap penyebaran informasi, serta keinginan untuk melawan narasi sosial dan institusional dominan yang merugikan. Ia tertarik pada cara kekerasan institusional masa lalu direproduksi melalui kerangka hukum dan legislatif, perlindungan warisan budaya, serta penetrasi halus narasi-narasi tersebut ke dalam masyarakat. Ia melakukan riset kritis, membongkar, dan membangun kembali untuk menjadikan hal yang tidak terlihat menjadi nyata, dalam bentuk karya digital, video, dan berbasis ruang.
Film
Film ini direkam menggunakan dua media: digital dan seluloid Super 8mm. Proses pengambilan gambar dilakukan di dua lokasi: Bali, Indonesia, dan Belanda. Di Bali, rekaman berfokus pada penelusuran asal-usul keris Klungkung, yang dikaitkan dengan konteks pariwisata Bali kontemporer. Hal ini diwujudkan melalui wawancara dengan sejumlah narasumber, termasuk pengamat budaya, pembuat keris (empu), dan seniman. Sementara itu, segmen yang direkam di Belanda berfokus pada pencarian arsip fisik tempat artefak-artefak ini ‘disimpan.’
Film ini tidak berfokus pada keberadaan fisik artefak, melainkan pada asal-usulnya dan jejak-jejak samarnya di tempat asalnya, Klungkung, Bali. Penelitian kami dilakukan cukup awal dan lancar dalam prosesnya, yang membuat kami menyadari bahwa puputan dan keris tidak terpisahkan dari industri pariwisata di Bali. Namun, benang merah narasi tambahan film ini muncul setelah Kifu mengunjungi Bali dan berbicara dengan seorang Empu Keris. Ia menceritakan bahwa bilah keris terinspirasi oleh bentuk dan filosofi daun Jeruju. Bagian dari film ini bertujuan untuk mengungkap hal ini dan ‘menyimpannya dalam arsip’ di situs web ini, karena sulit menemukan literatur tentang hal tersebut, yang semakin menekankan pentingnya memori dan tradisi sebagai ‘pengetahuan’. Menjadi mudah untuk secara visual menunjukkan perbandingan ini dengan arsip Barat, karena kami berhasil menemukan spesimen mati di Belanda. Hal ini kemudian menjadi simbol/metafora untuk keris juga. Ia juga mati di arsip, karena rohnya hilang saat dicuri. Orang mungkin menganggap arsip Barat sebagai tempat yang baik untuk ‘melestarikan’ artefak, tetapi apa sebenarnya yang kita lestarikan?
Ada banyak spekulasi mengenai simbol-simbol yang menghiasi keris ini. Dalam film, spekulasi-spekulasi ini dipadukan dengan narasi yang bersumber dari pengetahuan lokal, filsafat ekologi, dan ketidakpastian ingatan kolektif. Konteks ini diintervensi secara artistik dengan menggores dan merusak lapisan emulsi seluloid, menghilangkan bagian-bagian gambar yang diproses secara kimia, dan menggantinya dengan gambar baru yang dihasilkan
Kredit
Konsep dan pengembangan: Taufiqurrahman Kifu dan Hattie Wade
Kamera: Taufiqurrahman Kifu, Hattie Wade and_____
Grading: Taufiqurrahman Kifu
Penata musik: Azhar Arrival (catra.catra.catra)
Mixing: Yusuf Radjamuda (Halaman Belakang Films)