Lombok Treasure

2024 — now

'Idak-Idak-Idak' adalah film dokumenter hibrid yang menghubungkan Harta Karun Lombok dengan diaspora masyarakat Sasak melalui tiga generasi: seorang anak perempuan, ibunya, dan neneknya. Menggabungkan visual dari sinematografi *full-spectrum* dengan rekaman pribadi menggunakan* handycam*, film ini bergerak antara Indonesia dan Belanda untuk menelusuri warisan kolonial, keterasingan, serta proses penyembuhan hati dan pencarian rumah. "Idak" dapat dimaknai sebagai hati sekaligus ketiadaan, yang menjadi wadah bagi ingatan, kehilangan, dan lapisan diri yang tak terlihat.

Artefak

Benda-benda pusaka utama dalam Idak-Idak-Idak merupakan bagian dari Koleksi Harta Karun Lombok, sebuah koleksi besar yang terdiri dari perlengkapan kerajaan, benda-benda suci, warisan keluarga, dan permata yang disita oleh tentara kolonial Belanda selama invasi Lombok pada tahun 1894. Benda-benda ini dijarah dari istana Dinasti Karangasem Bali di Mataram selama kampanye militer brutal yang mengakibatkan kematian massal dan pengungsian. Setelah dibawa ke Belanda sebagai jarahan kolonial, harta karun ini tersebar di berbagai institusi, museum, dan koleksi pribadi, di mana banyak di antaranya masih berada hingga kini.

Lombok Treasures mewakili lebih dari sekadar kekayaan material—mereka melambangkan otoritas spiritual, garis keturunan budaya, dan kedaulatan politik kerajaan yang pernah merdeka. Bagi komunitas yang harta karun ini diambil darinya, mereka bukan sekadar “benda,” tetapi simbol aktif identitas, memori, dan kekuatan leluhur. Beberapa harta karun, termasuk keris upacara (pisau belati), perhiasan emas, dan batu suci, digunakan dalam ritual dan kehidupan istana, menghubungkannya dengan kosmologi yang lebih luas yang terganggu akibat pengambilan paksa mereka.

Meskipun ada upaya restitusi baru-baru ini, asal-usul banyak benda ini tetap tidak pasti. Ada celah dalam dokumentasi, benda-benda yang hilang, dan narasi yang bertentangan tentang kepemilikan, legitimasi, dan pengembalian. Ketidakpastian ini—apa yang diketahui, apa yang tersembunyi, dan apa yang terlupakan—menciptakan ruang untuk intervensi artistik.

Warne Mata dimulai dari ruang itu: bukan dengan katalog benda-benda, tetapi dengan sisa-sisa emosional dan budaya yang mereka tinggalkan. Dengan membayangkan batu permata sebagai narator yang sadar, dan melacak gema mereka melalui kehidupan seorang nenek dan cucu yang terpisah antara Indonesia dan Belanda, film ini mengembalikan kisah-kisah manusia yang sering dihapus oleh arsip kolonial. Proses artistik kami berpindah dari fakta sejarah ke narasi spekulatif, bertanya apa artinya bagi sesuatu—baik itu artefak atau manusia—untuk diambil, dipindahkan, dan didefinisikan ulang sepanjang waktu.

Seniman

Kae Oktorina

Kae Oktorina adalah seniman media yang karya-karyanya mengeksplorasi hubungan antara manusia dan alam, persepsi sensorik, serta memori budaya. Karyanya sering melibatkan video, animasi, dan media eksperimental untuk menciptakan pengalaman imersif yang mempertanyakan cara kita menghuni lanskap—secara fisik, emosional, dan historis. Meskipun proyek-proyek sebelumnya berfokus pada narasi lingkungan dan pertentangan antara dunia alam dan buatan, dalam Warne Mata, Kae mengalihkan perhatiannya pada sejarah: khususnya, bagaimana warisan kolonialisme terus membentuk identitas, memori, dan rasa memiliki. Meskipun ia tidak memiliki pengalaman sebelumnya dengan sinematografi spektrum penuh, ia mengadopsi teknik ini karena kemampuannya untuk mengungkapkan lapisan-lapisan realitas yang tak terlihat—seperti halnya cerita-cerita tersembunyi di dalam batu permata itu sendiri.

christopher tym

Christopher Tym adalah seorang seniman dan pembuat film yang praktiknya mengeksplorasi hibriditas, persepsi, dan kompleksitas dalam menavigasi dunia virtual dan fisik. Karyanya sering kali mengaburkan batas antara dokumenter dan fiksi, menggabungkan penyuntingan emosional, desain suara berlapis, dan struktur naratif spekulatif. Dengan latar belakang dalam animasi dan film eksperimental, Christopher khususnya tertarik pada bagaimana storytelling dapat menantang waktu linier dan perspektif yang kaku—terutama dalam kaitannya dengan ekosentrisme dan identitas diaspora. Dalam Warne Mata, Christopher membawa visi editorial yang kuat dan kejelasan konseptual, membantu membentuk narasi non-linear dan polifonik yang memberi suara pada baik manusia maupun objek. Meskipun baru dalam sinematografi spektrum penuh, ia mendekatinya sebagai alat bercerita, menggunakan warna sebagai perangkat struktural dan emosional—menggambar paralel visual antara sifat spektral batu permata dan pengalaman berlapis perpindahan. Pendekatannya yang kolaboratif dan didorong oleh riset sangat penting dalam membangun bahasa sinematik yang dapat menyeimbangkan aksesibilitas dan kompleksitas dengan penuh perhatian.